Korawa mengangkat Adipati karna sebagai senopati perang setelah Burisrawa
gugur. Hari itu sudah gelap, dan menurut aturan perang, perang
dihentikan sementara. Namun tidak tahu mengapa Korawa melanggar aturan
itu dan mengirim senopati perangnya malam itu.
Adipati Karna menerabas dan menghancurkan pasukan Pandawa
di garda depan. Para penjaga perkemahan tidak mampu menandingi krida
sanga Adipati. Berita itu cepat terdengar hingga perkemahan Pandawa Mandalayuda.
Sri Kresna kemudian memanggil
Raden Haryo Gatotkaca,
raja Pringgodani, putera
Raden Bratasena dan
Dewi Arimbi.
Di sampan Sri kresna, Raden Bratasena (Bimasena) berdiri layaknya
gunung memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan antara Sri
kresna dan puteranya.
Kresna :
”Anakku
tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di
tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi
senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”
Gatotkaca :
”Waduh,
wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai
juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang Baratayuda saya
menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna,
hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak
kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”
Setelah mendapat perintah dari Sri Kresna, Gatotkaca dalam sekejap
tidak terlihat. Sebenarnya, Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya
Gatotkaca mati sebagai pahlawan Pandawa. Namundi atidak mau merusak hati
adik-adiknya Pandawa. Namun ia harus mempersiapkan hati Werkudara
untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.
Kresna :
“Wrekudoro…“
Werkudara :
“Injih, kakang Kresna“ (Injih = iya)
Kresna :
“Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri dan anaknya ??“
Werkudara :
“Wah…Kakang
seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya
sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku
satria.“
Kresna :
“Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan
mudah-mudahan yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“ (Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Werkudara).
Malam semakin larut, namun di angkasa ladang
Kurukhsetra
kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nayal obor ribuan prajurit
kedua belah pihak yang saling hantam gada, sabet pedang, lempar tombak
dan kelebat kelewang dan juga hujan anak panah.
Gatotkaca mengerahkan semua kemampuannya, dikenakannya
Kutang Antakusuma, terompah Basunanda dan dikeluarkannya seluruh
tenaga yang dimilikinya. Ia tebang mengangkasa dan sesekali menukik
turun menyambar mangsanya. Sekali sambar, puluhan prajurit Hastina
tergelepar tanpa daya dengan terpisahnya kepala-kepala mereka dari
gembungnya.
Sejak ia lahir, Gatotkaca memang sudah menunjukkan tanda-tand
kedigdayaannya. Ari-arinya tidak bisa diputus dengan senjata apapun.
Kuku Pancanaka Bimasena mental,
keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, dan semua senjata di Amarta sudah dicoba namun tidak ada yang mamou memutuskan tali pusarnya. Para sesepuh
Amarta termasuk Sri Kresna sudah kehabisan akal bagaimana menolong Sang jabang bayi
Dewi Arimbi.
Raden Arjuna, sang paman kemudian menyingkir sejenak ,
dan atas saran Sri Kresna, ia menepi untuk meminta petunjuk kepada
Yang Maha Esa untuk mengatasi masalah itu. Di kahyangan Suralaya,
permintaan Arjuna didengar oleh para Dewa.
Bathara Guru kemudian mengutus
Bathara Narada untuk memberikan senjata berupa keris Kunta Wijayandanu untuk memotong ari-ari bayi Dewi Arimbi itu.
Bathara Narada turun dengan membawa senjata Kunta
untuk diserahkan kepada Arjuna yang saat itu ditemani oleh para
punokawan, abdi tersayang. Namun, di tempat lain
Adipati Karna juga sedang mengadu kepada ayahnya,
Bethara Surya,
memohon welas asih agar diberi sebjayta andalan guna menghadapi perang
besar nanti. Dewa Surya kemudian menyarankan anaknya untuk merampas
senjata Kunta dari Bethara Narada.
Karna dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakannya
sangat mirip, hanya suaranya saja yang membedakannya. Maka ketika
Adipati Karna dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bethara Narada
tidak bisa lagi membedakan mana Arjuna dan Adipati Karna.
Demi membantu sang putera, Dewa Surya juga mengubah siang yang terik
dan terng benderang, tiba-tiba meredup seolah menjelang malam, dan
dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Bethara narada
yang sudah tua dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu semakin
rabun karena gerhana ini.
Adipati karna kemudian mencegat Bethara Narada dan tanpa rasa curiga,
ia memberikan senjata Kunta kepada Arjuna palsu. Karena tugasnya sudah
selesai, maka ia berniat untuk kembali ke kahyangan, namun ditemuinya
Arjuna
lagi yang diiringi para Punokawan. Sadar bahwa dirinya tertipu, ia
lalu memerintahkan Arjuna untuk merebut senjata Kunta dari angan
Adipati Karna.
Perang tanding antara
Arjuna dan
Karna
pun tidak bisa dihindarkan. Namun, Raden Arjuna hanya berhasil merebut
warangka senjata Kunta dari Adipati Karna. Ia kemudian kembali ke
Amarta, dan ari-ari jabang bayi Arimbi yang kelak bernama Gatotkaca itu
bisa diputus dengan warangka itu. Keanehan pun terjadi ketika sesaat
setelah ari-ari jabang bayi diputus, seketika wearangka itu hilang dan
menyatu ke dalam perut si jabang bayi.
Sekarang saat perang besar
Baratayuda terjadi, sudah takdirnya Senjata Kunta mencari warangkanya di tubuh
Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, yang konon berotot kawat, tulang besi dan kesaktiannya kuga ditempa di kawah
Candradimuka, namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai disini.
Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma
Kalabendana,
paman Gatotkaca yang sangat menyayangi Gatotkaca sudah menunggu untuk
sowan ke pengayunan yang Maka Pemberi Hidup. Bahkan, karena begitu
sayangnya, Kalabendana tidak akan kembali ke asal kehidupannya jika
tidak bersama keponakannya itu.
Di ladang Pertempuran, Karna sudah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wjayandanu. Dalam hatinya berbisik,
“
Anakku cah bagus, belum pupus bekas ari-arimu, berani-beraninya kamu
menghdapi awakmu ini. Bukan kamu yang aku tunggu ngger..Arjuna mana?
Ya..ya..sma-sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian
syahidmu dengan Kunta wijayandanu ini”.
Sementara Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam tahu semua gerak-gerik
Sang Adipat Karna. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata
Kunta ada dalam tubuhnya yang selama ini menyokong kekuatannya.
Dicobanya untuk mengulur takdir, ia lalu terbang diantara awan-awan
gelap yang menggantung tinggi di langit, mencoba menyembunyikan
tubuhnya diantara gelapnya awan.
Namun takdir memang tidak bisa dipercepat atau ditunda. Kunta
Wijayandanu terlepas dari busur adipati Karna, yang ketepatan dalam
mengolah dan mengarahkan panah hamper mendekati sempurana dan hanya
Arjuna yang mampu menandinginya. Secepat kilat, Kunta Wiajayndanu
melesat ke angkasa. Di angkasa, Kalabendana sudah siaga menunggu
tunggangan, dan dengan sigap ia menumpang ke senjata Kunta. Senjata
Kunta dan Kalabendana, menghujam ke dada gatotkaca membelah jantung
putera kinasih Bratasena itu.
Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap,
” Aku mau mati kalau dengan musuh ku…”.
Tubuh Gatotkaca jatuh mengarah ke kereta Basukarna. Namun Basukarna
bukanlah ksatria biasa, ia secepat kilat melompat dari keretanya. Jasad
Gatotkaca menimpa kereta, keretanya hancur lebur, pun dengan delapan
kuda dan kusirnya tewas dengan jasad yang tak terbentuk
Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira bagi kubu Korawa. Para
prajurit bersorak-sorai mengeluk-elukan sang Senopati. Kepercayaan diri
mereka berlipat, semangat perang mereke meningkat dan keyakinan diri
bertambah akan memenangi perang akbar ini
Sebaliknya, kesedihan mendalam meliputi pihak Pandawa. Werkudara hamper
tidak bisa menguasai dirinya, melihat kematian Gatotkaca.
Werkudara : ”Gatot…,
jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu
hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu
memang lelaki sejati…!”..
Sementara sang ibu, Arimbi juga tidak kuat menahan emosi. Arimbi
menceburkan dirinya ke perapian membara yang telah disiapkannya. Sudah
menjadi tekatnya, jika nanti anak kesayangannya mati sebelum
kepergiannya kea lam kelanggengan, dia akan nglayu membakar diri.
Dengan demikian, Pandawa kehilangan dua keluarga sekaligus. Werkudara
kehilangan anak tersayang dan istri tercintanya. Namun keturunan
tidaklah terputus, baik Antareja maupun Gatotkaca telah mempunyai anak
laki-laki sebagai penerus Werkudara.
Fajar menjelang, jenazah Gatotkaca dan abu Arimbi selesai diupakarti
sesuai dengan ageman dan keyakinan mereka. Sri Kresna sudah bisa
menenangkan Werkudara dan para Pandawa yang lain. Namun tugas harus
dilanjutkan, saatny amengatur strategi dan menuntaskan perang.
Diposkan oleh
dalang 666